Kamis, 05 Januari 2012

Rabu, 04 Januari 2012

Pendekatan pendekatan dalam Pengajaran Bahasa kepada Anak Tunagrahita

Sellin (1979) mengemukakan empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.

1. Pendekatan Sosiolinguistik
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita.
 

Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran.

Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya:

(1) fonologi (bunyi, lafal)
(2) semantik (makna, definisi)
(3) sintaksis (susunan kata)
(4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian

Keempat elemen tersebut saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu elemen tertentu dapat dilakukan. Pendekatan sosiolinguistik lebih menekankan elemen simantik, dan guru diharapkan lebih memprioritaskan kejelasan ekspresi kognitif siswa.

Ini berarti bahwa guru seyogyanya memprioritaskan pembentukan perilaku bahasa siswanya yang dapat difahami dengan baik oleh lawan bicaranya, daripada memprioritaskan ketepatan lafal atau struktur kalimatnya. Misalnya, siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak", "udah", dsb.

2. Pendekatan Behaviorisme.
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979).

Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events). Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations) tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan bahasa.
 

Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.

Perozzi sependapat bahwa bahasa mengandung aspek behavioristik dan aspek kematangan. Aspek kematangan memberikan indikator tentang kesiapan anak untuk belajar sesuatu yang lebih kompleks, dan aspek behavioristik memberikan kesadaran tentang perilaku bahasa tertentu yang harus dibentuk, dikondisikan, dan/atau diperoleh. Indikator kematangan tersebut mencakup: adanya tanda-tanda bahwa kesempatan untuk berbicara sudah muncul, adanya tanda-tanda munculnya perilaku tertentu secara teratur, dan munculnya tanda-tanda tentang adanya kesempatan untuk berlatih bila terdapat kondisi penguatnya.

Spadlin (1963, dalam Sellin, 1979) mencoba menerjemahkan konsep-konsep Skinner ke dalam prosedur asesmen perilaku bahasa. Dia mengemukakan empat perilaku utama, yaitu: echoic (mengulang kata atau kata-kata yang didengar - pada intinya perilaku meniru); mark (belajar meminta suatu benda atau bantuan); intraverbal (merespon terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai perasaan atau kesukaan); dan tact (menyebut nama benda atau menggambarkan fungsi benda).

Jeffery mengemukakan bahwa pengkondisian seorang anak tunagrahita berat untuk meningkatkan respon intraverbal dapat dilakukan melalui reinforcement sosial yang positif.

Miller dan Yoder menganjurkan bahwa isi latihan bahasa untuk anak tunagrahita dan pembentukan perilakunya harus mengikuti urutan yang sama dengan anak normal.
 

Pembentukan ekspresi verbal, misalnya, harus mengikuti urutan sebagai berikut:
1) Istilah-istilah relasional (ya, tidak, sudah, belum, dsb.);
2) Kata-kata tunggal;
3) Frasa predikat-obyek (buka pintu, baca buku);
4) Frasa subyek-obyek (Ibu guru, Ayah dokter);
5) Frasa subyek-predikat (guru membaca, Budi duduk); dan
6) Kalimat subyek-predikat-obyek (Ayah membaca buku).

Miller dan Yoder menganjurkan empat prinsip pengajaran bahasa:
1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi;
2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya;
3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung; dan
4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.

3. Pendekatan Psikolinguistik
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan, dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.

Pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy (1961).
 

ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance), sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur treatment-nya (Sellin, 1979).

ITPA terdiri dari beberapa subtes yang didesain untuk mengukur tiga fungsi utama penggunaan bahasa, yaitu:
1) saluran bahasa (auditori, visual, vokal);
2) proses (decoding/reseptif, encoding/ekspresif, asosiatif/informatif); dan
3) tingkat keberfungsian (bermakna dan konvensional serta representasional versus tingkat otomatis - sekuensial yang mencakup hafalan otomatis data tak bermakna).

Bateman dan Wetherell (1965) menyimpulkan bahwa karakteristik siswa tunagrahita yang terungkap oleh ITPA adalah:
- Relatif lebih baik dalam tingkat kemampuan representasional daripada tingkat kemampuan otomatis/sekuensial;
- Lebih baik dalam saluran visual-motor daripada auditori-vokal;
- Tidak ada perbedaan antara populasi daerah perkotaan dan pedesaan;
- Dapat dipergunakan untuk populasi MA tiga hingga sembilan tahun.

Pengajaran bahasa berdasarkan ITPA, yang terkait dengan saluran, tingkat keberfungsian dan/atau proses bahasa, telah dikaji oleh Hammill dan Larson (1974), Minskoff (1975) dan Newcomer, Larson, dan Hammill (1975).

Hammill dan Larson mengkaji BERBAGAI literatur mengenai pelatihan bahasa dengan ITPA, yang mencakup 15 hasil studi terhadap populasi tunagrahita dan 18 studi terhadap populasi kurang mampu. Mereka menyimpulkan bahwa ke-33 studi tersebut gagal menunjukkan peningkatan pada kelompok eksperimental. Hal tersebut diakibatkan oleh karena treatment yang kurang spesifik, rendahnya reliabilitas skor ITPA, yang berarti bahwa error dalam pengukuran mencegah terungkapnya kemajuan yang diperoleh, dan tidak aplikatifnya psikolinguistik.

Minskoff menyarankan agar pengajaran bahasa berdasarkan ITPA tetap dipertahankan, dengan memperbaiki bagian-bagian tertentu dalam pedoman penggunaannya, yang mencakup:
- Tujuan remediasi harus sesuai dengan gejala perilaku siswa, sesuai dengan tingkat kematangannya, dan diarahkan pada kecacatannya.
- Materi pengajaran harus terurut, disesuaikan dengan tingkat kecepatan belajar siswa, dipergunakan oleh guru yang dipersiapkan khusus untuk itu, dan dapat direstrukturisasi jika penguasaan siswa tidak segera tampak.
- Harus tersedia cukup waktu untuk pelatihan/pengajaran, mendeskripsikan preskripsi dan prosedur, dan tersedia layanan bagi siswa sesudah program remediasi selesai;
- Harus terdapat kecocokan antara prosedur tes dan pelatihan.
Akan tetapi, Newcomer et al. (1975) tidak sependapat dengan Minskoff yang memberikan dukungan terhadap pelatihan bahasa berdasarkan ITPA itu. Mereka menyimpulkan bahwa ITPA gagal menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa. Mereka menyarankan agar guru tetap bersikap skeptis terhadap ITPA.
Oleh karena itu, Sellin (1979) menyimpulkan bahwa untuk saat ini keberhasilan pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita yang didasarkan pada ITPA masih merupakan janji yang memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.

4. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)

Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll., mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi.

Pendekatan etologi memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang mengasuhnya.

Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder, Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer keterampilan.
 

Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempelajari terlebih dahulu untuk mempelajari pengalaman yang mengesankan bagi anak sebelum mulai mengajar. Keuntungan dari pandangan ini adalah bahwa orang dewasa turut dituntut untuk belajar berkomunikasi dengan anak, sehingga tanggung jawab untuk belajar itu tidak dibebankan semata-mata pada diri anak.
 

Pada umumnya, penelitian berfokus pada kegagalan anak tunagrahita, ketidakmampuannya untuk belajar, dan/atau inefisiensi programnya (Sellin, 1979). Etologi berupaya membalik pola tersebut, dan menekankan bahwa orang dewasa bertanggung jawab untuk merancang program yang efektif.

Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan integration.
 

Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb.
 
Kontrol adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan.
 
Self‑extended control adalah tuntutan agar anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.

Isi program ini mencakup urutan enam fase, yaitu:
 
(1) orang dan benda,
 
(2) tindakan terhadap orang dan benda,
 
(3) barang-barang milik sendiri,
 
(4) warna,
 
(5) ukuran besar, dan
 
(6) hubungan kekerabatan.
 
Keempat elemen struktur di atas harus diterapkan pada masing-masing fase tersebut.

Format dasar pembelajarannya adalah:
1) Keterampilan reseptif sebelum keterampilan ekspresif;
2) Peristiwa merangsang timbulnya respon; dan
3) Respon harus berupa akibat yang positif.


Tunagrahita Tidak Selalu Idiot 

Pendidikan ialah salah satu hal penting bagi manusia. Betuk pendidikan bisa secara akademik atau non akademik. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia tercinta ini. Mulai dari Program Wajar (wajib belajar) Sembilan Tahun sampai Wajar Dua Belas Tahun. Pembagian beasiswa dalam dan luar negeri pun termasuk dalam salah satu program pemerintah.
Adanya UU tentang pendidikan memberikan garis tebal bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa pengecualian. Sekolah negeri, sekolah swasta, bahkan sekolah luar biasa (SLB) menjadi tempat formal untuk mendapatkan pendidikan.Berbicara tentang SLB, tidak akan lepas dari keberadaan anak luar biasa (ABK).ABK ialah anak yang memiliki grafik perkembangan yang berbeda dari anak normal. Grafik tersebut bisa naik dan turun. Ada beberapa kategori ABK diantaranya Tunagrahita, Tunawicara, Tunarungu, Tunalaras, Tunanetra, Tunadaksa, Anak berkesulitan belajar, dan anak yang terlampau pintar.
Sementara ini yang akan saya bahas ialah tentang anak tunagrahita. Banyak yang berasumsi bahwa anak tunagrahita sama dengan anak idiot. Asumsi tersebut kurang tepat karena sesungguhnya anak tunagrahita terdiri atas beberapa klasifikasi. Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelejensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat.

1. Tunagrahita Ringan
Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididikdan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok. Mereka mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra.

2. Tunagrahita Sedang
Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang.

3. Tunagrahita Berat
Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dair bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam tungrahita berat.
Melalui sedikit penjelasan tentang anak tunagrahita, semoga pembaca yang masih menganggap semua anak tunagrahita itu anak idiot dan tidak memiliki kemampuan apa-apa tidak lagi berpikiran semacam itu. Setelah mengetahui hal ini pula kiranya dapat disosialisasikan kepada siapa saja yang masih belum tahu.
Anak luar biasa hanya sdikit berbeda dari anak normal. Namun sesungguhnya dibalik �keluarbiasaannya� mereka benar-benar luar biasa. Kepercayaan ialah hal yang sangat dibutuhkan dan menjadi bagian yang sangat berharga. Jangan pernah memandang sebelah mata akan apa yang hanya terlihat dari luarnya saja :-)


Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tuna Grahita 

Public Law 101‑476, the Individuals with Disabilities Education Act (IDEA - undang-undang pendidikan penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 mendefinisikan ketunagrahitaan (mental retardation) sebagai berikut: ketunagrahitaan adalah kondisi kemampuan intelektual secara umum di bawah rata-rata, yang disertai dengan defisit dalam perilaku adaptif, dan terjadi dalam masa perkembangan, yang berpengaruh besar terhadap kinerja pendidikan anak (Hawkins‑Shepard, 1994).
Secara lebih spesifik, the American Association on Mental Retardation (AAMR) (1992) menjelaskan bahwa:
- Yang dimaksud dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata itu adalah skor IQ 70 hingga 75 atau lebih rendah berdasarkan tes standar inteligensi individual.
- Defisit perilaku adaptif adalah keterbatasan dalam dua bidang keterampilan adaptif atau lebih, yang mencakup bidang-bidang: komunikasi, merawat diri, mengurus rumah, keterampilan sosial, kehidupan kemasyarakatan, mengarahkan diri (self‑direction), kesehatan dan keselamatan, keterampilan akademik, penggunaan waktu senggang dan kerja. Keterbatasan tersebut mengacu pada keterbatasan keterampilan adaptif yang lebih terkait dengan aplikasi fungsional daripada keadaan-keadaan lain seperti perbedaan budaya atau gangguan sensoris.
- Usia perkembangan adalah sebelum usia 18 tahun.
Berdasarkan skor IQ-nya, American Association on Mental Defficiency (AAMD) mengklasifikasikan ketunagrahitaan ke dalam empat tingkatan, yaitu:
1) Tunagrahita ringan (mild mental retardation) (IQ 68‑52, MA 8,3‑10,9 tahun)
2) Tunagrahita sedang (moderate mental retardation) (IQ 51‑36, MA 5,7‑8,2 tahun)
3) Tunagrahita berat (severe mental retardation) (IQ 35‑20, MA 3,2‑5,6 tahun)
4) Tunagrahita parah (profound mental retardation) (IQ 19 atau lebih rendah, MA 3,1 tahun atau lebih rendah)
(Ingalls, 1978).
Jika kita ingin memperoleh gambaran tentang kemampuan seorang anak tunagrahita tertentu, MA anak itu hampir selalu merupakan dasar estimasi yang baik tentang kapabilitasnya. Seorang anak dengan MA limatahun cenderung berkinerja pada tingkat usia lima tahun anak normal dalam semua bidang kemampuannya.
Akan tetapi, hasil analisis yang lebih seksama terhadap data hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat terlalu banyak perbedaan antara anak tunagrahita dan nontunagrahita dengan tingkat MA yang sama, sehingga kita tidak dapat sepenuhnya menerima teori perkembangan tersebut. Berikut ini adalah beberapa generalisasi yang dapat dibuat tentang kinerja anak tunagrahita dibanding anak normal dengan MA yang setara (Engalls, 1978):
1) Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak nontunagrahita dalam perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya sama.
2) Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa.
3) Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan komunikasi verbal, strategi penghafalan, serta proses-proses kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat.
4) Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam tugas-tugas belajar dan hafalan yang melibatkan konsep-konsep abstrak dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan dalam belajar asosiasi hafalan sederhana. 


Obat untuk Tunagrahita 

Apakah ada obat khusus untuk anak tunagrahita (lemah mental)?
Beberapa buku yang saya baca tentang tunagrahita dan penanganannya. Memberikan penjelasan bahwa tidak ada obat khusus yang mampu memberikan kesembuhan 100% karena cacat mental yang diderita ialah cacat bawaan. Namun, ada beberapa cara yang cisa dilakukan untuk memberikan peningkatan terhadap kemampuan anak tunagrahita. Baik secara fisik dan mental.
Secara fisik, dapat dilakukan dengan berbagai macam terapi. Biasanya dengan terapi permainan khusus yang sebetulnya ringan. Dengan permainan yang diciptakan akan memberikan peningkatan, khususnya pada gerak tubuh (menjaadi lebih aktif dan responsif). Selain itu, permainan (terutama outbound) akan melatih kepekaan anak tunagarahita pada lingkungan. Kompetisi pada permainan akan menjadi hal yang biasa jika sering dilakukan. Selanjutnya akan berpengaruh pada kemajuan mental.
Jika, anak tunagrahita memahami bahwa dalam permainan tersebut ada kompetisi maka dalam hati dan pikiran akan tertanam rasa �saya harus menang� dengan demikian akan ada usaha yang maksimal dari si anak untuk menjadi juara dan mendapatkan penghargaan yang luar biasa.
Simpulannya, obat yang dibutuhkan untuk anak-anak tunagrahita ialah
  • latihan (tentang kegiatan apapun).
  • penghargaan akan hasil kerja sekecil apapun.
  • perhatian dan dukungan dalam kegiatan apapun dan dimanapun.
  • selalu menberikan makanan bernutrisi supaya kesehatannya tetap terjaga.
Saya rasa beberapa obat ini akan embuat anak tunagrahita selalu merasa sehat baik fisik maupun mentalnya. Mohon dikoreksi, apabila ada kesalahan dan kekurangan. Terima kasih


Perbedaan Tuna Grahita dan Autis 

Hati-hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit berkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat perkembangan intelegensia anak.
Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung dicap tunagrahita. Itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
“Bisa jadi, anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan yang diberikan pun harus berbeda,” ujar Mudjito, Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar “Memahami dan Mencari Solusi Kesulitan Belajar pada Anak Autisme” di Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/2).
Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antarjaringan dan fungsi otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke ibunya tak seimbang.
Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
“Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya, pada situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih cerdas membahasakan sesuatu, melebihi anak-anak normal seusianya,” tambah Mudjito.
Dalam seminar yang menampilkan drg Sri Utami Soedarsono (Direktur Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus) serta Ery Soekresno Psi (konsultan anak berkebutuhan khusus) tersebut, terungkap bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri.
Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktor genetika dan lingkungan sosial. Awal Februari lalu, para ilmuwan yang bertemu pada “Autism Summit” di California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa gejala autisme disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor-faktor lingkungan yang belum teridentifikasi.
Mengutip International Herald Tribune (10/2), Mudjito menguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru lahir. Pertama, zat putih pada otak-yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada usia 2 tahun, zat putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagin depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil daripada rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan-2 tahun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran otak anak autis berusia 5 tahun lebih kurang sama dengan ukuran otak anak normal berusia 13 tahun.
Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme juga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi buruk, perdarahan, dan keracunan makanan saat hamil. Hal itu menghambat pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang dikandung terganggu, terutama fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi.
Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan minuman tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan cepat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsumsi mengandung zat pestisida.
Tak pelak, prevalensi (peluang terjadinya) autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, di AS, dari hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran naik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an. Tahun 2000-an, sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran.
Belum ada data tentang prevalensi autisme di Indonesia. Namun, mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun sudah merambah masyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya diyakini mirip AS. “Di sekolah- sekolah luar yang berada di kota besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di pedalaman, hampir tidak ditemukan,” papar Mudjito.
Ia menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiap kota yang membuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi pola pendekatannya cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis.
Hanyalah satu dari delapan jenis kelainan gejala khusus yang menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini dikembangkan pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang, sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental), dan tunalaras (bertingkah laku aneh).
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak di Indonesia yang mengalami kelainan seperti itu. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Sesuai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anak berkelainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara dengan anak-anak lainnya.
Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendidikan inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus, terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya, pengadaan guru khusus untuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari 75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500 guru sekualifikasi itu yang terangkat. Padahal, secara nasional masih dibutuhkan 1.500.
Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja sulit terlayani, apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicap tunagrahita. (nasrullah nara) sumber: kompas.


mengenal autis dan tunagrahita

Banyak diantar kita yang rancu membedakan antara autis dan tuna grahita. Tulisan ringkas ini mungkin bisa menambah informasi kita untuk lebih memahami dua hal tersebut, walaupun gejala-gejala yang diderita oleh anak autis dan  tuna grahita memiliki kemiripan.
Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Tanda - tanda Autisme
Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari
Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata
Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar
Tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain
Hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan)
Serasa dia punya dunianya sendiri
Tidak suka berbicara dengan orang lain
Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain
Penyebab Autisme
Penyebab Autisme sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti. Banyak sekali pendapat yang bertentangan antara ahli yang satu dengan yang lainnya mengenai hal ini.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR (Mumps, Measles dan Rubella )bisa berakibat anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder.
Tapi hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini berdebatkan karena tidak adanya bukti yang kuat bahwa imunisasi ini penyebab dari autisme, tetapi imunisasi ini diperkirakan ada hubungannya dengan Autisme.
Tunagrahita
Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi. dan rahita berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental.
Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
Lemah fikiran ( feeble-minded)
Terbelakang mental (Mentally Retarded)
Bodoh atau dungu (Idiot)
Pandir (Imbecile)
Tolol (moron)
Oligofrenia (Oligophrenia)
Mampu Didik (Educable)
Mampu Latih (Trainable)
Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
Mental Subnormal
Defisit Mental
Defisit Kognitif
Cacat Mental
Defisiensi Mental
Gangguan Intelektual
 American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes, yang muncul sebelum usia 16 tahun, yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku. Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut:  EDUCABLE Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar.
Untuk terapi autis, dikenal ada 4 metode terapi:
Terapi Perilaku
Terapi Wicara
Terapi Biomedik
Terapi Integrasi sensoris